Gaun Merak Kemenanganku
Matahari memang baru menyembulkan
dirinya, tapi seorang Cahaya sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolahnya, SMPN
1 Kledung. Pagi ini Cahaya sengaja bangun cepat, karena ia tidak ingin
melewatkan acara yang akan sangat bersejarah baginya. Hari ini kelas Cahaya,
kelas 8A, akan menjadi petugas upacara untuk kegiatan upacara hari ini. Mungkin
tak ada satu pun temannya yang berpikir bahwa kegiatan ini sangat spesial. Tapi
bagi Cahaya yang akan menjadi seorang pembawa bendera yang diapit oleh Nanda
dan Tiwi, posisinya ini sangat membuat dirinya terus tersenyum bahagia.
SMPN 1 Kledung masih terlihat sepi. Baru
beberapa murid saja yang sudah terlihat berlalu lalang di sekolah itu. Cahaya
pun mempercepat langkahnya menuju kelasnya. Ia tidak takut walau sekolahnya itu
terlihat begitu sepi dan angker.
“Pokoknya
aku enggak mau dia yang jadi pembawa benderanya. Harus aku atau enggak Nanda,”
ujar Tiwi dengan kesal. Nanda yang berdiri di belakang Tiwi hanya bisa
menundukkan kepalanya.
“Tapi kan Bu Lilis udah setuju kalau
Cahaya yang jadi pembawa bendera,” ujar Ian seraya menatap mata Tiwi tajam.
“Kamu kalau enggak tahu
permasalahannya diam aja. Jangan pernah bentak Tiwi,” ancam Bagas seraya
memegang leher baju Ian dengan kuat.
“Sudah, sudah. Jangan berantem. Cahaya
tetap jadi pembawa bendera dengan didampingi Tiwi dan Nanda. Semua keputusan
ini sudah ditentukan oleh Bu Lilis. Jadi enggak bisa diganggu gugat,” ujar Andi
dengan bijaksana. Keributan pun selesai. Andi akhirnya berhasil meluluhkan hati
Tiwi yang awalnya sangat ngotot dengan
pendapatnya sendiri. Namun, tetap saja, Bagas tidak terima pacarnya
dipermalukan di depan teman-teman sekelasnya. Bagas pun berniat balas dendam
kepada Ian dan juga Andi.
**
Tetttt…
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Cahaya
pun bergegas untuk pulang ke rumah neneknya. Namun, tiba-tiba saja ada
seseorang yang menahan dirinya untuk kembali pulang ke rumah.
“Aya, bentar. Bapak mau bilang
sesuatu,” Pak Jay tiba-tiba berlari pelan ke arah Cahaya.
“Ada apa, Pak?” tanya Cahaya heran. Pak
Jay adalah guru musik di SMPN 1 Kledung yang terkenal dengan kemisteriusannya.
Sampai sekarang kemisteriusannya itu belum bisa terungkap oleh semua
murid-murid dan orang-orang sekitarnya.
“Ini. Ada lomba Tari Daerah se-Jawa
Tengah. Kamu ikut ya! Bapak enggak tahu, sih, Kamu bisa nari atau enggak. Tapi,
dicoba aja dulu. Lumayan hadiahnya,” ujar pak Jay seraya memberikan selembar
pengumuman kepada Cahaya. Cahaya bingung dengan sikap pak Jay yang mendadak
ramah kepadanya. Padahal, biasanya pak Jay tidak pernah tersenyum kepada
murid-muridnya.
“Ohhh… Makasih banget ya, Pak. Insyaallah
kalau Saya bisa, Saya pasti ikut,” ujar Cahaya berterimakasih. Pak Jay pun
langsung meninggalkan Cahaya sendirian. Cahaya masih bingung dengan sikap pak
Jay barusan.
“Tadi pak Jay, ya? Kok bisa ngobrol
sama Kamu?” Tiba-tiba saja Andi datang dengan ditemani Ian.
“Iya. Aku juga bingung. Tadi Pak Jay
cuma ngasih ini ke Aku. Pak Jay nyuruh Aku buat ikutan lomba Tari Daerah se-Jawa
Tengah,” jawab Cahaya sambil memamerkan deretan giginya yang putih. Andi pun
langsung mengangguk-angguk mengerti. Mereka bertiga pun akhirnya pulang
bersama-sama. Andi terpaksa mengendarai sepeda motornya dengan sangat pelan di
belakang Ian dan Cahaya yang berjalan kaki. Andi sudah menawari salah satu
diantara kedua sahabatnya itu untuk naik di atas sepeda motornya, namun mereka
berdua tetap memilih untuk berjalan kaki.
“Nan, Kamu mau enggak jadi pacar
Aku?” ujar Ichsan yang menembak Nanda di lapangan sepak bola desa Kledung.
Bagas, Tiwi, dan beberapa anak bayaran Bagas menyaksikan peristiwa itu.
Nanda terdiam. Dia bingung harus
menjawab apa. Sementara itu, semua orang yang ada di lapangan sepak bola itu
langsung berteriak-teriak meminta Nanda untuk menerima Ichsan sebagai pacarnya.
Nanda semakin bingung apalagi ketika Tiwi yang memaksa dirinya untuk menerima
Ichsan sebagai pacarnya.
“Eh, udah, udah. Kalian ini apa-apaan,
sih. Kalian enggak bisa maksa seseorang untuk memutuskan urusan pribadinya. Ini
soal hati,” ujar Cahaya yang berusaha menghentikan teriakan orang-orang bayaran
Bagas itu. Andi dan Ian yang berada di belakang Cahaya terus berusaha menghalau
Cahaya agar tidak ikut campur dengan urusan mereka berempat.
“Eh, ngapain Kamu ada di sini? Ini
urusan Kami. Ngapain Kamu ikut campur?” bentak Tiwi sambil melototi Cahaya
dengan kedua bola matanya yang bulat.
“Eh, ternyata kalian bertiga lagi. Ngapain,
sih, kalian selalu ikut campur dengan urusan kami?” ujar Bagas yang ikut-ikutan
membela pacarnya itu.
“Aku cuma enggak suka Nanda
diperlakukan seperti itu. Kamu juga, Ichsan! Masa Kamu nembak Nanda di depan
orang banyak kayak gini? Enggak romantis banget, sih,” jawab Cahaya dengan
sabar. Cahaya tidak bersikap seperti Bagas dan Tiwi yang sering menyalahi
seseorang secara sepihak.
Tiba-tiba saja Bagas memberikan
isyarat mata kepada Ichsan dan juga anak-anak bayarannya. Cahaya yakin ini
pertanda buruk bagi Andi dan Ian. Bagas, Ichsan, dan juga anak-anak bayaran
Bagas langsung berlari ke arah Andi dan Ian. Mereka ingin mengeroyoki Andi dan
Ian. Cahaya yang awalnya ingin mencegah, tidak bisa berbuat apa-apa begitu Tiwi
dan Nanda memegang tangannya begitu kuat. Nanda sebetulnya tidak ingin
menyakiti Cahaya, tapi atas paksaan dan ancaman Tiwi, Nanda pun melakukan hal
itu dengan berat hati.
Bagas, Ichsan, dan beberapa orang
bayaran Bagas beberapa kali melayangkan pukulan kepada Andi dan Ian. Cahaya
terus berteriak-teriak begitu melihat Ian yang dipukul tanpa ampun oleh Ichsan
dan 3 anak bayaran Bagas. Cahaya terus meronta-ronta agar ia terlepas dari
cengkraman Nanda dan Tiwi. Namun, cengkraman mereka begitu kuat.
Nasib
Andi lebih beruntung dibandingkan Ian. Andi sangat mahir dalam bela diri pencak
silat. Tak ayal, jika Bagas yang hanya memegang sabuk kuning Taekwondo berhasil
dikalahkannya. Akhirnya, setelah mereka kalah, mereka pun menyerah dan langsung
lari ketakutan. Nanda dan Tiwi pun melepas cengkraman mereka kepada Cahaya dan
ikut berlari bersama teman-temannya itu. Cahaya langsung berlari melihat
keadaan Ian.
“Ndi, kita harus cepat-cepat
nganterin Ian ke rumahnya?” ujarku kepada Andi yang terlihat sangat lelah.
“Biar Aku aja yang anterin Ian naik
motorku. Kamu enggak apa-apa kan jalan kaki sendirian?” tanya Andi padaku.
“Enggak apa-apa, kok. Ya sudah.
Buruan, gih,” jawabku yang kemudian langsung membantu Ian naik ke atas motor
Andi. Andi pun pergi mengantarkan Ian dengan sepeda motornya. Sementara itu,
Cahaya pulang dengan perasaan yang masih cemas terhadap kondisi Ian.
“Assalammu’alaikum,” ujar Cahaya
begitu ia tiba di rumah neneknya. Nenek pun datang dari arah dapur untuk menyambut
cucunya yang baru pulang sekolah.
“Wa’alaikumsalam. Dari tadi nenek udah
nungguin kamu pulang. Masuk, yuk! Ada kejutan spesial buat Kamu,” ujar nenek
kepada Cahaya. Cahaya pun langsung duduk di kursi tamu dengan bingung. Jarang-jarang
nenek memberikan kejutan kepada Cahaya.
“Assalammu’alaikum, anak Ibu yang
paling cantik,” salam ibu Cici, ibunya Cahaya.
“Wa’alaikumsalam. Ibbbuuuu…,” Cahaya
langsung berlari memeluk Ibu Cici dengan sangat erat.
“Ibu kapan sampai di
Indonesia? Kok, enggak ngasih tahu Cahaya dulu?” tanya Cahaya yang masih berada
di pelukan ibunya.
“Iya. Biar jadi surrrrrrr…,”
“Surprise,
Bu,” Cahaya, Ibu Cici dan juga nenek pun langsung tertawa kecil. Setelah puas kangen-kangenan,
Cahaya pun bergegas untuk mandi dan mengganti pakaian seragamnya. Hari ini ibu
Cici berjanji akan mengajak Cahaya berkeliling desa bersamanya.
**
“Bu, Pak Jay nyuruh Cahaya buat ikut
lomba Tari Daerah se-Jawa Tengah. Aya mau ikut, tapi Aya bingung dengan
tariannya,” ujar Cahaya yang sedang berbaring di pangkuan ibunya. Ibu Cici sedang
mengajak Cahaya bermain ke pinggir sungai di desa Kledung yang sangat jernih.
“Wah! Bagus itu. Kamu harus ikut,
Ay. Ibu akan ngajarin Kamu sampai Kamu bisa. Ibu juga akan menjahit sendiri
gaun meraknya untuk Kamu,” janji Ibu Cici yang sangat mendukung anak semata
wayangnya itu. “Setelah lomba itu selesai, Kamu ikut Ibu balik ke Thailand ya?
Kita bakal tinggal di sana selama-lamanya,” ajak Ibu Cici.
“Maaf, Bu. Aya enggak bisa. Aya
masih mau tinggal di desa ini. Lagipula, Aya belum siap kalau harus berpindah
kewarganegaraan. Ada sesuatu yang udah bikin Aya betah sama desa ini,” tolak
Cahaya.
“Ada cinta Kamu yang tertinggal di
sini?” goda Ibu Cici. Ibu Cici langsung tersenyum jahil kepada Cahaya.
“Iya, Bu. Cinta Aya terhadap desa
dan negara ini. Dulu Aya memang enggak suka tinggal di desa ini. Tapi sekarang
Aya sadar, kalau Ayalah yang harus melakukan perubahan buat desa dan negara
ini. Aya ingin desa Kledung dikenal oleh seluruh alam semesta,” jawab Cahaya
dengan mantap.
Ibu
Cici bangga terhadap Cahaya yang sudah berani untuk mencintai tempat tinggalnya
sendiri. Tak sia-sia perjuangannya selama ini untuk membuat Cahaya mencintai
Indonesia. Mungkin memang sebaiknya Cahaya tetap tinggal di desa Kledung. Tak
apa-apa mereka harus dipisahkan oleh jarak dan waktu nantinya, yang terpenting bagi
Ibu Cici adalah kehidupan anaknya yang sudah aman di tanah airnya sendiri.
“Aku cinta desa Kledung dan negara
Indonesia,” teriak Cahaya seraya membentangkan kedua tangannya.
**
“Assalammu’alaikum… Pak Kasan, pak
Kasan!” ujar Cahaya memanggil Pak Kasan di depan rumahnya. Pak Kasan adalah
ayah Andi.
“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Cahaya?” tanya
pak Kasan yang baru saja keluar dari dalam rumahnya.
“Andi udah pulang, Pak?” tanya
Cahaya dengan mata yang sibuk mencari-cari Andi.
“Belum. Memangnya ada apa?” jawab
Pak Kasan. Belum sempat Cahaya pergi dari rumah pak Kasan dan mencari Andi,
sosok Andi langsung muncul. Ia datang dengan membawa seekor burung Dara yang
dari tadi terus dielus-elusnya.
“Cieee…
ketahuan, nih, ada yang sering perhatiin Aku,” goda Andi.
“Ihhh… kegeeran banget sih, Kamu. Aku
kan cuma takut Kamu mati dikeroyok sama gengnya si Bagas lagi. Oh, iya! Gimana
keadaan Ian?” tanya Cahaya.
“Ohhh… Ian. Luka-lukanya sudah
lumayan sembuh. Palingan, besok atau lusa dia sudah bisa sekolah,” jawab Andi
yang tidak berhenti mengelus burung Dara putihnya itu. Setelah menjawab jawaban
dari Andi, Cahaya pun langsung berpamitan pulang kepada Andi dan Pak Kasan. Siang
ini, Cahaya harus latihan Tari Merak bersama ibunya.
Cahaya
pun latihan menari Tarian Merak bersama ibunya. Ibu Cici mengajari Cahaya
dengan sangat sabar. Cahaya memang sama sekali belum pernah menari Tarian
Merak, namun Cahaya sudah pernah menari tarian Bondan sewaktu TK dulu. Gerakan
tubuh Cahaya yang sudah cukup gemulai membuat Ibu Cici tidak terlalu susah
payah untuk mengajarinya. Cahaya pasti akan cepat menguasai Tarian Merak dalam
waktu beberapa hari saja.
**
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya
tiba juga. Matahari pagi sudah menyinari Cahaya dan ibu Cici yang sudah amat semangat
untuk berangkat ke tempat perlombaan. Setelah menempuh perjalanan tiga jam dari
Kledung menuju Semarang, akhirnya Cahaya dan ibu Cici pun tiba di Gedung Wanita
Semarang tempat perlombaan menari itu diselenggarakan.
Setelah melakukan pendaftaran ulang,
Cahaya dan ibu Cici duduk di bangku yang telah disediakan panitia. Cahaya
mendapatkan nomor urut 10. Perlombaan sudah di mulai sejak tadi dan sekarang
sudah masuk urutan ke-5. Tinggal beberapa nomor lagi. Cahaya pun menyiapkan
penampilannya agar bagus di depan panggung. Ditemani ibunya, Cahaya bergegas mengganti
pakaian di kamar mandi yang ada di dalam gedung itu. Gaun Merak yang sangat
anggun menjadi kostum Cahaya untuk menarikan Tari Merak nanti. Gaun itu dijahit
sendiri oleh ibunya.
Ilustrasi: di sini
Setelah menunggu selama beberapa
menit, akhirnya giliran Cahaya pun tiba. Cahaya berjalan pelan ke atas panggung
karena Gaun Meraknya yang terlalu panjang menyulitkannya untuk berjalan. Cahaya
langsung disambut sorak-sorai penonton yang memberikan tepuk tangan untuknya. Cahaya
begitu senang karena mendapatkan sambutan positif dari para penonton. Ibu Cici
pun langsung menyetel tape yang akan
mengiringi Cahaya sepanjang dia menarikan Tari Merak.
Tarian Merak yang Cahaya bawakan
terlihat sangat lincah. Setelah tarian selesai, penonton terdiam. Cahaya
bingung dengan sikap penonton yang demikian. Ia berpikir bahwa penonton tidak
menyukai tariannya. Namun, tiba-tiba saja sorak-sorai tepuk tangan penonton
langsung memeriahkan Gedung Wanita Semarang. Juri yang berada di hadapan Cahaya
pun langsung memberikan senyuman terbaik kepada Cahaya. Cahaya menjadi berbesar
hati. Ternyata, semua orang yang ada di gedung itu menyukai penampilannya. Cahaya
pun turun dari panggung dengan hati yang berbunga-bunga.
Pengumuman pemenang akan diumumkan
hari ini juga. Cahaya dan ibu Cici pun menunggu pengumuman itu yang diperkirakan
baru keluar menjelang matahari terbenam. Ibu Cici terus menenangkan hati Cahaya
yang terus cemas menunggu pengumuman. Ibu Cici yakin, Cahaya akan mendapatkan
hasil yang terbaik dari usahanya selama ini.
**
“Sebentar! Sebelum kalian kembali ke
kelas kalian masing-masing, Bapak ingin mengumumkan sesuatu yang sangat
penting,” ujar bapak Riozi, Kepala Sekolah SMPN 1 Kledung di depan podium
upacara. Semua murid yang awalnya akan kembali ke kelasnya masing-masing pun
langsung berbalik ke barisan mereka.
“Ada prestasi yang membanggakan dari
salah satu siswi SMP kita. Dia telah meraih juara satu lomba Tari Daerah
se-Jawa Tengah,” ujar bapak Riozi dengan senyum bahagia. Cahaya langsung tercekat
kaget. “Dan… sambutlah…. Cahaya Putri Kacika, murid kelas 8A yang berhasil
memenangkan lomba itu,”
Lapangan upacara langsung riuh
dengan tepuk tangan dari semua murid SMPN 1 Kledung. Cahaya yang berjalan
menuju podium upacara langsung disambut dengan suara teriakan teman-temannya
yang dari tadi terus meneriakkan namanya. Tapi, di balik kegembiraan
teman-teman sekelas Cahaya dan semua murid SMPN 1 Kledung, ada kebencian yang
terlihat dari raut wajah Tiwi dan Bagas.
Cahaya
pun tiba di atas podium upacara tepat di sebelah bapak Kepala Sekolah. Cahaya terkejut
begitu melihat kedatangan ibunya dengan membawa piala kemenangannya. Ibu Cici langsung
memberikan piala itu kepada bapak kepala sekolah yang selanjutnya akan
diberikan kepada Cahaya. Pak Jay memfoto peristiwa itu dengan kamera sakunya.
Setelah
selesai, Cahaya pun turun dari atas podium upacara dengan membawa piala yang
tingginya kurang lebih setengah meter. Ia langsung meletakkan pialanya di tanah
dan memeluk ibu Cici dengan sangat erat. Cahaya benar-benar tidak tahu dengan kejutan
yang dibuat ibunya itu. Ia sangat bahagia.
**
“Ay, kamu enggak ikut pulang sama
Ibu Kamu?” tanya Andi kepada Cahaya. Mereka berdua sedang berada di tepi sungai
setelah mengantarkan Ibu Cahaya ke pintu masuk desa Kledung.
“Enggak, Ndi. Aku masih betah
tinggal di negara ini. Aku belum bisa ninggalin desa dan negara yang kucintai
ini,” jawab Cahaya seraya memainkan rumput-rumput hijau yang ada di hadapannya.
Andi hanya mengangguk mengerti. Ia sangat kagum dengan kecintaan Cahaya
terhadap negara Indonesia.
“Aku bingung sama Kamu. Kamu kan
awalnya kayak enggak suka banget tinggal di desa ini. Kamu terlihat seperti
anak kota yang sangat membenci pedesaan,” ujar Andi seraya menatap Cahaya. Cahaya
langsung memicingkan matanya.
“Kamu tahu aja, ya. Haha… iya.
Awalnya aku memang enggak suka tinggal di desa ini. Desa ini begitu terpencil sehingga sedikit
sekali hiburan dan fasilitas yang bisa Aku nikmati. Tapi, sekarang Aku sadar.
Desa ini memiliki keindahan panorama yang bisa menarik banyak wisatawan. Aku
ingin sekali memajukan dan membangun desa ini agar kelak dunia bisa
mengetahuinya,” jawabku seraya menatap aliran sungai yang sangat deras.
“Kalau
Kamu bisa cinta sama desa dan negara ini, Kamu bisa mencintai Aku juga,
enggak?” tiba-tiba pertanyaan itu terlempar dari mulut Andi. Cahaya kaget
dengan pertanyaan Andi itu. Dia benar-benar bingung dengan jawaban yang harus
ia berikan kepada Andi. Cahaya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Andi
menyukai dirinya.
Keadaan
begitu hening. Tak terdengar suara dari mereka berdua. Hanya gemericik air
sungai yang bisa terdengar sampai akhirnya Cahaya berani membuka mulut.
“Emmm…
Andi, kita ini masih terlalu kecil untuk menjalin hubungan yang istimewa. Aku
tahu rasa cinta itu enggak bisa dipendam lama-lama. Tapi, lebih baik kita tetap
bersahabat. Persahabatan itu lebih indah dari sekedar hubungan pacaran. Persahabatan
tidak akan pernah putus, Ndi,” jawab Cahaya seraya menatap Andi.
Andi
mengerti dengan jawaban Cahaya. Cahaya memang benar. Sebaiknya mereka berdua
tetap menjadi sahabat. Persahabatan itu lebih indah dari semuanya. Jika mereka
memang jodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan mereka suatu hari nanti. Ya. Suatu
hari nanti…
***
Jangan lupa comment ya, manteman^_^
BalasHapus