Resensi Novel "Super Didi" karya Silvarani

22.21 0 Comments

Assalammu'alaikum!

Apa kabar semuanya? Semoga selalu dalam keadaan baik-baik saja, yaaa... Nah, kali ini, ada yang baru, nih di blog Salsa. Tereteetttttttt..... *ala-ala pengumuman sayembara kerajaan*. Jreng jreng jrenggg.... ada resensi novel "Super Didi". Mungkin, tulisan ini terkesan baru di blog Salsa. Walau sebelumnya Salsa pernah buat resensi film "Kau dan Aku Cinta Indonesia", namun untuk novel, baru kali ini Salsa posting di blog. Dan ini pun sebenernya karena tugas praktek bahasa Indonesia dari sekolah. *harap maklum yaaa, manteman. Kelas 12 sedang menghadapi banyak ujian*. So, yang mungkin tamat SMA ini udah putus asa dengan ujian masuk universitas, atau belum mau kerja dan ingin langsung nikah *eh*, boleh lah yaaa dibaca dulu resensi novel ini, kalau tertarik, yaaa monggo dibeli bukunya di toko buku terdekat dan mungkin boleh juga nonton film-nya (kadang-kadang nongol juga di stasiun televisi R*TI) :D

 I.     Identitas Buku
Judul Buku           : Super Didi
Warna sampul      : Orange dengan gradasi kuning ditengahnya
Ilustrasi Sampul : Di atas sampul ada tulisan Super Didi yang merupakan judul novel tersebut. Tulisan tersebut diberi warna biru lalu latar belakang tulisannya diberi gambar awan yang seolah-olah digantung dari atas. Lalu, dibawah tulisan judul ada slogan yang berbunyi karena jadi Ayah itu, seru!. Selain itu ditengah-tengah sampul didominasi oleh gambar satu orang ayah dan dua putrinya dimana ayah nya mengangkat kedua putrinya sekaligus dengan alat kerjanya.
Penulis               : Silvarani
Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit      : 2016
Tebal Buku        : 256 Halaman
Berat Buku        : 230 gram
Ukuran              : 20 cm x 13,5 cm
No. ISBN          : 978-602-03-2690-0


II.          Sinopsis
Menjadi ayah itu susah-susah gampang.
Atau malah gampang-gampang susah?

Ketika sang istri pergi ke luar negeri, kehidupan Arka berubah total. “Didi” – panggilan kedua putrinya untuk sang ayah – harus merangkap menjadi ayah sekaligus ibu. Membangunkan anak-anaknya, Anjani dan Velia, mengepang rambut ala Queen Elsa, mengantar ke sekolah, menjemput dari les balet dan drama, sampai mendongengkan sebelum tidur, semunya Arka lakukan seorang diri.
Mimpi buruk semakin memperkeruh hari-hari Arka karena Wina belum bisa kembali ke Jakarta, padahal Anjani dan Velia akan tampil dalam drama sekolah. Pada hari yang sama, Arka harus mempresentasikan proyek bernilai triliunan rupiah. Kalau sudah begitu, apakah Anjani dan Velia yang harus dikorbankan? Apakah mereka harus tampil tanpa ditonton kedua orangtuanya?
Mungkin begitu.
Sampai suatu saat, sang “Didi” melakukan tindakan “super”!


III.              Penilaian Buku
Dimulai dari sampul. Berlatarkan orange dengan kuning muda di tengahnya, sampul buku ini sekilas terlihat sederhana. Apalagi, sampul buku ini merupakan sampul buku setelah cerita di dalam buku ini diangkat ke dalam bentuk film. Jadi, sampul ini bukanlah sampul asli ketika buku ini pertama kali terbit.
Kisah ceritanya yang menarik untuk disimak dan mendewasakan pikiran serta hati yang membacanya. Alur cerita yang mengalir serta konflik batin yang ditonjolkan dalam novel ini mampu membuat pembaca terhanyut dan ikut merasakan kejadian demi kejadian dengan seksama. Selain itu, konflik yang dimunculkan dalam novel ini tidak berbelit-belit, hanya menampilkan satu konflik saja. Penggunaan bahasanya juga menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Dimulai dari awal cerita yang dibumbui dengan adegan romantis, penuh kebahagiaan di mana Arka yang berprofesi sebagai seorang arsitek dan istrinya, Wina yang hanya seorang ibu rumah tangga baru saja mendapat kabar bahagia bahwa Arka mendapatkan proyek triliunan rupiah dari perusahaannya.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika sahabat Wina, Meisya menelponnya dari Hongkong dan mengabarkan bahwa ia sedang memiliki masalah dengan suaminya, Kei. Awalnya, Wina menolak permintaan Meisya yang menginginkan dirinya terbang ke Hongkong dikarenakan suaminya yang tak mampu mengurus kedua buah hati mereka seorang diri.
 Aku harus ke Hongkong!”
“Kamu harus ke Hongkong!” (hal. 38)
Keputusan itu akhirnya diambil Arka dan Wina demi menghindari penyesalan seumur hidup yang mungkin terjadi karena tindakan bodoh Meisya. Awalnya Wina tidak tega meninggalkan Anjani dan Velia dengan Didi – panggilan kedua anaknya kepada Arka. Namun, keputusan berat itu akhirnya diambil dengan persetujuan Arka.
Dari permulaan konflik yang diambil oleh sang penulis, dapat kita lihat bahwa penulis sedang berusaha membuat tulisannya memikat hati pembaca dengan menampilkan konflik di awal. Walau konfliknya sederhana dan sering digunakan, namun tema keluarga yang dikonsep dan diusung oleh penulis dalam ceritanya ini sudah mampu tergambarkan dari awal cerita ini bergulir.
Konflik mulai ditampilkan oleh penulis saat Wina sudah berangkat ke Hongkong dan sang suami, Arka harus memulai kehidupannya yang baru walau hanya sementara. Mulai dari membangunkan, memandikan, menyiapkan sarapan, hingga mendongengkan kedua putrinya, ia lakukan seorang diri. Padahal, selama ini, Arka tidak pernah turun langsung dalam mengurus kedua putrinya. Ia hanya sibuk mengurus pekerjaannya saja dan mengumpulkan pundi-pundi uang karena ia menganggap bahwa kebahagiaan keluarganya hanya dapat dibeli dengan uang.  
“MUTIII...!” suara Anjani dan Velia bertambah kencang.
“UDAAAHHH!” balas Arka tak kalah kencang.
Mendengar teriakan Arka yang tak biasa mereka dengar, Anjani dan Velia mendadak diam. Arka tertegun. Ia takjub sendiri. Ia melempar pandang ke Anjani kemudian Velia. Ia masih tak percaya dengan prestasinya yang berhasil mendiamkan kedua anaknya.
Sayangnya, ketenangan ini tak berlangsung lama. Sesaat kemudian, Anjani dan Velia menangis kencang. Arka hanya bisa memegangi kepalanya yang pusing tujuh keliling. (hal. 43)
Kutipan dialog dan narasi tersebut menggambarkan bagaimana stress-nya Arka yang tiba-tiba harus menjadi orangtua tunggal dalam mengurus kedua putrinya, walau hanya sementara waktu. Di sinilah tergambar bagaimana sosok ayah zaman sekarang yang mayoritas memang hanya fokus terhadap karir tanpa pernah memikirkan perkembangan sang buah hati, sehingga mereka pun merasa tak dekat dengan sosok sang ayah. Bahkan, Arka juga tak mengetahui bahwa putri keduanya, Velia alergi terhadap Siomay udang. Komunikasi yang terjalin antara seorang ayah dengan anak pun baru terjalin sejak Wina pergi ke Hongkong. Ia pun merasakan langsung bagaimana lelahnya Wina dalam mengurus kedua putrinya.
Di bagian ini terlihat bahwa penulis mengambil isu sosial yang memang terjadi di zaman sekarang ini. Jika konfliknya ditelisik lebih dalam lagi, bukan tak mungkin sosok ayah akan hancur dalam novel ini. Untungnya saja, penulis tak menggambarkan sosok Arka hanya dari segi ketidakpeduliaannya saja. Walau Arka memang digambarkan sebagai sosok ayah yang “bodoh” dalam mengurus anak, sisi kegigihan dan perjuangan dalam memerangi “kebodohannya” itu juga patut diacungi jempol. Tak banyak ayah yang mungkin jika dihadapkan pada kondisi seperti itu mampu berjuang layaknya Arka. Disamping ia harus berjuang mengurus kedua putrinya, ia juga harus memikirkan presentasi proyek triliunan bersama Fuad, Ica dan 3 orang juniornya di perusahaan yang akan diselenggarakan 2 minggu ke depan.
     Konflik novel ini sedikit padam ketika suatu hari Arka yang sedang menemani Anjani dan Velia les balet dan drama, bertemu dengan PEMBAJAK (Perhimpunan Bapak-Bapak Jaga Anak) yang terdiri dari: Togar, Arie, dan Kaka. Mereka sangat membantu Arka, apalagi Togar. Ia sangat membantu Arka hingga akhirnya Arka bisa mengepang rambut Anjani dan Velia ala Queen Elsa.
     Namun, masalah yang telah padam itu tidak berlangsung lama. Masalah kembali muncul di kehidupan Arka ketika Bosnya menelpon Arka. Bosnya menelpon Arka dan mengabarkan bahwa Arka dan timnya harus mempresentasikan proyek triliunan rupiah keesokan harinya. Padahal, Arka sudah berjanji kepada anaknya bahwa ia akan menghadiri pementasan drama “Timun Mas” mereka.
     Hari yang dinantikan itu pun datang. Arka bergegas datang ke kantor untuk melakukan presentasi proyek triliunan rupiah bersama timnya. Usai presentasi, ia langsung berangkat ke tempat pementasan drama kedua putrinya. Namun, kondisi ibukota yang macet memaksanya untuk turun dari mobil dan berlari untuk meneruskan perjalanannya menuju ke tempat putrinya. Selain itu, di tempat pementasan drama, Opa dan Mayang – panggilan untuk kakek dan nenek, sudah diminta oleh Wina untuk melakukan panggilan video agar Wina bisa melihat kedua putrinya di atas pentas. Akan tetapi, Opa dan Mayang tidak tahu bagaimana caranya melakukan panggilan video sehingga Wina merasa kecewa dan semakin stress.
Di sisi lain, di tempat pementasan drama, Arie yang mulai cemas karena Arka yang tidak kunjung sampai ke pementasan drama mulai memikirkan cara agar Arka cepat sampai ke pementasan drama putrinya. Arie pun menelpon Togar dan memintanya untuk menjemput Arka agar ia segera sampai di tempat pementasan drama itu berlangsung.
Togar pun segera datang menjemput Arka. Sepanjang perjalanan, Togar yang melihat Arka gelisah pun terus mengajaknya berbincang. Setelah Arka dan Togar sampai di pementasan drama, Arka pun langsung memberikan semangat dan dukungan kepada kedua putrinya sambil mengangkat-ngangkat kedua tangannya bahwa ibu mereka pun juga melihatnya dari panggilan video. Dan pada saat itu juga, setelah Anjani dan Velia mengetahui jika ayahnya sudah sampai di pementasan drama, wajah mereka pun makin berseri-seri dan membuat mereka bersemangat karena kedatangan Arka dan wajah ibunya yang berada di pementasan drama. Mengetahui sikap ayahnya tersebut, membuat Anjani dan Velia bersemangat. Dan sampai akhirnya drama selesai, penonton bertepuk tangan heboh. Dan mereka pun berfoto bersama.
Bagian ini benar-benar menggambarkan bagaimana perjuangan Arka yang awalnya tak peduli terhadap anak-anaknya menjadi begitu peduli hingga mau berjuang walau mungkin yang terlihat hanya hal sederhana, yaitu: datang ke pementasan drama. Namun, kondisi ini sebenarnya sangat dibutuhkan bagi anak-anak seusia Anjani dan Velia yang secara psikologis masih sangat tergantung terhadap mood, sehingga dukungan sekecil apapun sangat mempengaruhi mereka.
Novel ini pun ditutup dengan adegan yang cukup mengharukan. Dua hari kemudian setelah tragedi pementasan drama itu, Arka, Anjani, dan Velia menjemput Wina yang baru saja tiba dari Hongkong. Anjani dan Velia pun langsung memeluk Wina, melepas kerinduan dan menceritakan segala hal yang telah terjadi di rumah selama ia pergi ke Hongkong.
Novel ini mengajarkan kita untuk belajar tegar menghadapi permasalahan, terus melangkah maju meskipun masalah tersebut sangat berat dipikul. Belajar menghargai hidup, menghargai persahabatan, serta belajar memahami keikhlasan.
Untuk kelemahan, saya melihat sedikit kejanggalan dalam novel ini. Sosok Meisya yang digambarkan dalam novel ini sangatlah tidak dewasa, padahal ia sudah berkeluarga. Sekalipun memang Meisya adalah sosok yang manja, namun seharusnya perkembangan psikologis Meisya sudah berubah seiring bertambahnya usia. Apalagi, di sini terlihat bahwa Wina sudah memiliki anak 2 yang bisa diprediksikan usianya sudah 5 dan 4 tahun. Sementara sang penulis juga menceritakan bahwa Wina dan Meisya telah bersahabat sejak SMA, yang bisa diartikan bahwa umur keduanya sama. Logikanya, jika Wina sudah berkeluarga dan memiliki anak yang sudah berusia 5 dan 4 tahun, pastilah umur Wina sudah di atas 25 tahun, begitu pula Meisya.
Novel yang dikemas begitu apik oleh Silvarani ini memang sudah tak diragukan lagi kualitasnya. Apalagi ditambah dengan diadaptasinya novel ini ke dalam bentuk film. Sepak terjang Silvarani dalam dunia menulis bukanlah baru-baru saja. Setelah lulus dari Sastra Prancis UI dan Magister Ilmu Komunikasi UI, ia melanjutkan hobi menulisnya dan berhasil menerbitkan novel-novel keren lainnya, seperti: Bintang Jatuh (2014), L’Amore Di Romeo (2015), Love In Paris (2016), dan novelisasi Ada Apa Dengan Cinta? (2016).

0 komentar: