Resensi Novel "Super Didi" karya Silvarani
Assalammu'alaikum!
Apa kabar semuanya? Semoga selalu dalam keadaan baik-baik saja, yaaa... Nah, kali ini, ada yang baru, nih di blog Salsa. Tereteetttttttt..... *ala-ala pengumuman sayembara kerajaan*. Jreng jreng jrenggg.... ada resensi novel "Super Didi". Mungkin, tulisan ini terkesan baru di blog Salsa. Walau sebelumnya Salsa pernah buat resensi film "Kau dan Aku Cinta Indonesia", namun untuk novel, baru kali ini Salsa posting di blog. Dan ini pun sebenernya karena tugas praktek bahasa Indonesia dari sekolah. *harap maklum yaaa, manteman. Kelas 12 sedang menghadapi banyak ujian*. So, yang mungkin tamat SMA ini udah putus asa dengan ujian masuk universitas, atau belum mau kerja dan ingin langsung nikah *eh*, boleh lah yaaa dibaca dulu resensi novel ini, kalau tertarik, yaaa monggo dibeli bukunya di toko buku terdekat dan mungkin boleh juga nonton film-nya (kadang-kadang nongol juga di stasiun televisi R*TI) :D
I. Identitas Buku
Judul Buku : Super
Didi
Warna sampul : Orange
dengan gradasi kuning ditengahnya
Ilustrasi Sampul : Di atas
sampul ada tulisan Super Didi yang merupakan judul novel tersebut. Tulisan tersebut
diberi warna biru lalu latar belakang tulisannya diberi gambar awan yang
seolah-olah digantung dari atas. Lalu, dibawah tulisan judul ada slogan yang
berbunyi karena jadi Ayah itu, seru!. Selain
itu ditengah-tengah sampul didominasi oleh gambar satu orang ayah dan dua putrinya
dimana ayah nya mengangkat kedua putrinya sekaligus dengan alat kerjanya.
Penulis :
Silvarani
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :
2016
Tebal Buku : 256
Halaman
Berat Buku :
230 gram
Ukuran :
20 cm x 13,5 cm
No. ISBN : 978-602-03-2690-0
II.
Sinopsis
Menjadi ayah itu susah-susah gampang.
Atau malah gampang-gampang susah?
Ketika sang istri pergi ke luar negeri, kehidupan Arka
berubah total. “Didi” – panggilan kedua putrinya untuk sang ayah – harus
merangkap menjadi ayah sekaligus ibu. Membangunkan anak-anaknya, Anjani dan
Velia, mengepang rambut ala Queen Elsa, mengantar ke sekolah, menjemput dari
les balet dan drama, sampai mendongengkan sebelum tidur, semunya Arka lakukan
seorang diri.
Mimpi buruk semakin memperkeruh hari-hari Arka karena
Wina belum bisa kembali ke Jakarta, padahal Anjani dan Velia akan tampil dalam
drama sekolah. Pada hari yang sama, Arka harus mempresentasikan proyek bernilai
triliunan rupiah. Kalau sudah begitu, apakah Anjani dan Velia yang harus
dikorbankan? Apakah mereka harus tampil tanpa ditonton kedua orangtuanya?
Mungkin begitu.
Sampai suatu saat, sang “Didi” melakukan tindakan
“super”!
III.
Penilaian Buku
Dimulai dari sampul. Berlatarkan orange dengan kuning
muda di tengahnya, sampul buku ini sekilas terlihat sederhana. Apalagi, sampul
buku ini merupakan sampul buku setelah cerita di dalam buku ini diangkat ke
dalam bentuk film. Jadi, sampul ini bukanlah sampul asli ketika buku ini
pertama kali terbit.
Kisah ceritanya yang menarik untuk disimak dan
mendewasakan pikiran serta hati yang membacanya. Alur cerita yang mengalir
serta konflik batin yang ditonjolkan dalam novel ini mampu membuat pembaca
terhanyut dan ikut merasakan kejadian demi kejadian dengan seksama. Selain itu,
konflik yang dimunculkan dalam novel ini tidak berbelit-belit, hanya
menampilkan satu konflik saja. Penggunaan bahasanya juga menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Dimulai dari awal cerita yang dibumbui dengan adegan
romantis, penuh kebahagiaan di mana Arka yang berprofesi sebagai seorang
arsitek dan istrinya, Wina yang hanya seorang ibu rumah tangga baru saja
mendapat kabar bahagia bahwa Arka mendapatkan proyek triliunan rupiah dari
perusahaannya.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika
sahabat Wina, Meisya menelponnya dari Hongkong dan mengabarkan bahwa ia sedang
memiliki masalah dengan suaminya, Kei. Awalnya, Wina menolak permintaan Meisya
yang menginginkan dirinya terbang ke Hongkong dikarenakan suaminya yang tak
mampu mengurus kedua buah hati mereka seorang diri.
“Aku harus ke Hongkong!”
“Kamu harus ke
Hongkong!” (hal. 38)
Keputusan itu akhirnya diambil Arka dan Wina demi
menghindari penyesalan seumur hidup yang mungkin terjadi karena tindakan bodoh
Meisya. Awalnya Wina tidak tega meninggalkan Anjani dan Velia dengan Didi –
panggilan kedua anaknya kepada Arka. Namun, keputusan berat itu akhirnya
diambil dengan persetujuan Arka.
Dari permulaan konflik yang diambil oleh sang penulis,
dapat kita lihat bahwa penulis sedang berusaha membuat tulisannya memikat hati
pembaca dengan menampilkan konflik di awal. Walau konfliknya sederhana dan
sering digunakan, namun tema keluarga yang dikonsep dan diusung oleh penulis
dalam ceritanya ini sudah mampu tergambarkan dari awal cerita ini bergulir.
Konflik mulai ditampilkan oleh penulis saat Wina sudah
berangkat ke Hongkong dan sang suami, Arka harus memulai kehidupannya yang baru
walau hanya sementara. Mulai dari membangunkan, memandikan, menyiapkan sarapan,
hingga mendongengkan kedua putrinya, ia lakukan seorang diri. Padahal, selama
ini, Arka tidak pernah turun langsung dalam mengurus kedua putrinya. Ia hanya
sibuk mengurus pekerjaannya saja dan mengumpulkan pundi-pundi uang karena ia
menganggap bahwa kebahagiaan keluarganya hanya dapat dibeli dengan uang.
“MUTIII...!”
suara Anjani dan Velia bertambah kencang.
“UDAAAHHH!”
balas Arka tak kalah kencang.
Mendengar
teriakan Arka yang tak biasa mereka dengar, Anjani dan Velia mendadak diam.
Arka tertegun. Ia takjub sendiri. Ia melempar pandang ke Anjani kemudian Velia.
Ia masih tak percaya dengan prestasinya yang berhasil mendiamkan kedua anaknya.
Sayangnya,
ketenangan ini tak berlangsung lama. Sesaat kemudian, Anjani dan Velia menangis
kencang. Arka hanya bisa memegangi kepalanya yang pusing tujuh keliling. (hal.
43)
Kutipan dialog dan narasi tersebut menggambarkan
bagaimana stress-nya Arka yang tiba-tiba harus menjadi orangtua tunggal dalam
mengurus kedua putrinya, walau hanya sementara waktu. Di sinilah tergambar
bagaimana sosok ayah zaman sekarang yang mayoritas memang hanya fokus terhadap
karir tanpa pernah memikirkan perkembangan sang buah hati, sehingga mereka pun
merasa tak dekat dengan sosok sang ayah. Bahkan, Arka juga tak mengetahui bahwa
putri keduanya, Velia alergi terhadap Siomay udang. Komunikasi yang terjalin
antara seorang ayah dengan anak pun baru terjalin sejak Wina pergi ke Hongkong.
Ia pun merasakan langsung bagaimana lelahnya Wina dalam mengurus kedua
putrinya.
Di bagian ini terlihat bahwa penulis mengambil isu sosial yang memang
terjadi di zaman sekarang ini. Jika konfliknya ditelisik lebih dalam lagi,
bukan tak mungkin sosok ayah akan hancur dalam novel ini. Untungnya saja,
penulis tak menggambarkan sosok Arka hanya dari segi ketidakpeduliaannya saja. Walau
Arka memang digambarkan sebagai sosok ayah yang “bodoh” dalam mengurus anak,
sisi kegigihan dan perjuangan dalam memerangi “kebodohannya” itu juga patut
diacungi jempol. Tak banyak ayah yang mungkin jika dihadapkan pada kondisi
seperti itu mampu berjuang layaknya Arka. Disamping ia harus berjuang mengurus
kedua putrinya, ia juga harus memikirkan presentasi proyek triliunan bersama
Fuad, Ica dan 3 orang juniornya di perusahaan yang akan diselenggarakan 2
minggu ke depan.
Konflik novel
ini sedikit padam ketika suatu hari Arka yang sedang menemani Anjani dan Velia
les balet dan drama, bertemu dengan PEMBAJAK (Perhimpunan Bapak-Bapak Jaga
Anak) yang terdiri dari: Togar, Arie, dan Kaka. Mereka sangat membantu Arka,
apalagi Togar. Ia sangat membantu Arka hingga akhirnya Arka bisa mengepang
rambut Anjani dan Velia ala Queen Elsa.
Namun, masalah yang
telah padam itu tidak berlangsung lama. Masalah kembali muncul di kehidupan
Arka ketika Bosnya menelpon Arka. Bosnya menelpon Arka dan mengabarkan bahwa
Arka dan timnya harus mempresentasikan proyek triliunan rupiah keesokan
harinya. Padahal, Arka sudah berjanji kepada anaknya bahwa ia akan menghadiri pementasan
drama “Timun Mas” mereka.
Hari yang
dinantikan itu pun datang. Arka bergegas datang ke kantor untuk melakukan
presentasi proyek triliunan rupiah bersama timnya. Usai presentasi, ia langsung
berangkat ke tempat pementasan drama kedua putrinya. Namun, kondisi ibukota
yang macet memaksanya untuk turun dari mobil dan berlari untuk meneruskan
perjalanannya menuju ke tempat putrinya. Selain itu, di tempat pementasan
drama, Opa dan Mayang – panggilan untuk kakek dan nenek, sudah diminta oleh
Wina untuk melakukan panggilan video agar Wina bisa melihat kedua putrinya di
atas pentas. Akan tetapi, Opa dan Mayang tidak tahu bagaimana caranya melakukan
panggilan video sehingga Wina merasa kecewa dan semakin stress.
Di sisi lain, di
tempat pementasan drama, Arie yang mulai cemas karena Arka yang tidak kunjung
sampai ke pementasan drama mulai memikirkan cara agar Arka cepat sampai ke
pementasan drama putrinya. Arie pun menelpon Togar dan memintanya untuk
menjemput Arka agar ia segera sampai di tempat pementasan drama itu
berlangsung.
Togar pun segera
datang menjemput Arka. Sepanjang perjalanan, Togar yang melihat Arka gelisah
pun terus mengajaknya berbincang. Setelah Arka dan Togar sampai di pementasan
drama, Arka pun langsung memberikan semangat dan dukungan kepada kedua putrinya
sambil mengangkat-ngangkat kedua tangannya bahwa ibu mereka pun juga melihatnya
dari panggilan video. Dan pada saat itu juga, setelah Anjani dan Velia
mengetahui jika ayahnya sudah sampai di pementasan drama, wajah mereka pun
makin berseri-seri dan membuat mereka bersemangat karena kedatangan Arka dan
wajah ibunya yang berada di pementasan drama. Mengetahui sikap ayahnya
tersebut, membuat Anjani dan Velia bersemangat. Dan sampai akhirnya drama
selesai, penonton bertepuk tangan heboh. Dan mereka pun berfoto bersama.
Bagian ini
benar-benar menggambarkan bagaimana perjuangan Arka yang awalnya tak peduli
terhadap anak-anaknya menjadi begitu peduli hingga mau berjuang walau mungkin
yang terlihat hanya hal sederhana, yaitu: datang ke pementasan drama. Namun,
kondisi ini sebenarnya sangat dibutuhkan bagi anak-anak seusia Anjani dan Velia
yang secara psikologis masih sangat tergantung terhadap mood, sehingga dukungan
sekecil apapun sangat mempengaruhi mereka.
Novel ini pun
ditutup dengan adegan yang cukup mengharukan. Dua hari kemudian setelah tragedi
pementasan drama itu, Arka, Anjani, dan Velia menjemput Wina yang baru saja
tiba dari Hongkong. Anjani dan Velia pun langsung memeluk Wina, melepas
kerinduan dan menceritakan segala hal yang telah terjadi di rumah selama ia
pergi ke Hongkong.
Novel ini
mengajarkan kita untuk belajar tegar menghadapi permasalahan, terus melangkah
maju meskipun masalah tersebut sangat berat dipikul. Belajar menghargai hidup,
menghargai persahabatan, serta belajar memahami keikhlasan.
Untuk kelemahan,
saya melihat sedikit kejanggalan dalam novel ini. Sosok Meisya yang digambarkan
dalam novel ini sangatlah tidak dewasa, padahal ia sudah berkeluarga. Sekalipun
memang Meisya adalah sosok yang manja, namun seharusnya perkembangan psikologis
Meisya sudah berubah seiring bertambahnya usia. Apalagi, di sini terlihat bahwa
Wina sudah memiliki anak 2 yang bisa diprediksikan usianya sudah 5 dan 4 tahun.
Sementara sang penulis juga menceritakan bahwa Wina dan Meisya telah bersahabat
sejak SMA, yang bisa diartikan bahwa umur keduanya sama. Logikanya, jika Wina
sudah berkeluarga dan memiliki anak yang sudah berusia 5 dan 4 tahun, pastilah
umur Wina sudah di atas 25 tahun, begitu pula Meisya.
Novel yang dikemas
begitu apik oleh Silvarani ini memang sudah tak diragukan lagi kualitasnya.
Apalagi ditambah dengan diadaptasinya novel ini ke dalam bentuk film. Sepak
terjang Silvarani dalam dunia menulis bukanlah baru-baru saja. Setelah lulus
dari Sastra Prancis UI dan Magister Ilmu Komunikasi UI, ia melanjutkan hobi
menulisnya dan berhasil menerbitkan novel-novel keren lainnya, seperti: Bintang Jatuh (2014), L’Amore Di Romeo
(2015), Love In Paris (2016), dan novelisasi Ada Apa Dengan Cinta? (2016).
0 komentar: