Gaun Merak Kemenanganku

04.57 1 Comments

Matahari memang baru menyembulkan dirinya, tapi seorang Cahaya sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolahnya, SMPN 1 Kledung. Pagi ini Cahaya sengaja bangun cepat, karena ia tidak ingin melewatkan acara yang akan sangat bersejarah baginya. Hari ini kelas Cahaya, kelas 8A, akan menjadi petugas upacara untuk kegiatan upacara hari ini. Mungkin tak ada satu pun temannya yang berpikir bahwa kegiatan ini sangat spesial. Tapi bagi Cahaya yang akan menjadi seorang pembawa bendera yang diapit oleh Nanda dan Tiwi, posisinya ini sangat membuat dirinya terus tersenyum bahagia.

SMPN 1 Kledung masih terlihat sepi. Baru beberapa murid saja yang sudah terlihat berlalu lalang di sekolah itu. Cahaya pun mempercepat langkahnya menuju kelasnya. Ia tidak takut walau sekolahnya itu terlihat begitu sepi dan angker.

“Pokoknya aku enggak mau dia yang jadi pembawa benderanya. Harus aku atau enggak Nanda,” ujar Tiwi dengan kesal. Nanda yang berdiri di belakang Tiwi hanya bisa menundukkan kepalanya.

“Tapi kan Bu Lilis udah setuju kalau Cahaya yang jadi pembawa bendera,” ujar Ian seraya menatap mata Tiwi tajam.

“Kamu kalau enggak tahu permasalahannya diam aja. Jangan pernah bentak Tiwi,” ancam Bagas seraya memegang leher baju Ian dengan kuat.

“Sudah, sudah. Jangan berantem. Cahaya tetap jadi pembawa bendera dengan didampingi Tiwi dan Nanda. Semua keputusan ini sudah ditentukan oleh Bu Lilis. Jadi enggak bisa diganggu gugat,” ujar Andi dengan bijaksana. Keributan pun selesai. Andi akhirnya berhasil meluluhkan hati Tiwi yang awalnya sangat ngotot dengan pendapatnya sendiri. Namun, tetap saja, Bagas tidak terima pacarnya dipermalukan di depan teman-teman sekelasnya. Bagas pun berniat balas dendam kepada Ian dan juga Andi.
**
Tetttt…

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Cahaya pun bergegas untuk pulang ke rumah neneknya. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan dirinya untuk kembali pulang ke rumah.

“Aya, bentar. Bapak mau bilang sesuatu,” Pak Jay tiba-tiba berlari pelan ke arah Cahaya.

“Ada apa, Pak?” tanya Cahaya heran. Pak Jay adalah guru musik di SMPN 1 Kledung yang terkenal dengan kemisteriusannya. Sampai sekarang kemisteriusannya itu belum bisa terungkap oleh semua murid-murid dan orang-orang sekitarnya.

“Ini. Ada lomba Tari Daerah se-Jawa Tengah. Kamu ikut ya! Bapak enggak tahu, sih, Kamu bisa nari atau enggak. Tapi, dicoba aja dulu. Lumayan hadiahnya,” ujar pak Jay seraya memberikan selembar pengumuman kepada Cahaya. Cahaya bingung dengan sikap pak Jay yang mendadak ramah kepadanya. Padahal, biasanya pak Jay tidak pernah tersenyum kepada murid-muridnya.

“Ohhh… Makasih banget ya, Pak. Insyaallah kalau Saya bisa, Saya pasti ikut,” ujar Cahaya berterimakasih. Pak Jay pun langsung meninggalkan Cahaya sendirian. Cahaya masih bingung dengan sikap pak Jay barusan.

“Tadi pak Jay, ya? Kok bisa ngobrol sama Kamu?” Tiba-tiba saja Andi datang dengan ditemani Ian.

“Iya. Aku juga bingung. Tadi Pak Jay cuma ngasih ini ke Aku. Pak Jay nyuruh Aku buat ikutan lomba Tari Daerah se-Jawa Tengah,” jawab Cahaya sambil memamerkan deretan giginya yang putih. Andi pun langsung mengangguk-angguk mengerti. Mereka bertiga pun akhirnya pulang bersama-sama. Andi terpaksa mengendarai sepeda motornya dengan sangat pelan di belakang Ian dan Cahaya yang berjalan kaki. Andi sudah menawari salah satu diantara kedua sahabatnya itu untuk naik di atas sepeda motornya, namun mereka berdua tetap memilih untuk berjalan kaki.

“Nan, Kamu mau enggak jadi pacar Aku?” ujar Ichsan yang menembak Nanda di lapangan sepak bola desa Kledung. Bagas, Tiwi, dan beberapa anak bayaran Bagas menyaksikan peristiwa itu.

Nanda terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Sementara itu, semua orang yang ada di lapangan sepak bola itu langsung berteriak-teriak meminta Nanda untuk menerima Ichsan sebagai pacarnya. Nanda semakin bingung apalagi ketika Tiwi yang memaksa dirinya untuk menerima Ichsan sebagai pacarnya.

“Eh, udah, udah. Kalian ini apa-apaan, sih. Kalian enggak bisa maksa seseorang untuk memutuskan urusan pribadinya. Ini soal hati,” ujar Cahaya yang berusaha menghentikan teriakan orang-orang bayaran Bagas itu. Andi dan Ian yang berada di belakang Cahaya terus berusaha menghalau Cahaya agar tidak ikut campur dengan urusan mereka berempat.

“Eh, ngapain Kamu ada di sini? Ini urusan Kami. Ngapain Kamu ikut campur?” bentak Tiwi sambil melototi Cahaya dengan kedua bola matanya yang bulat.

“Eh, ternyata kalian bertiga lagi. Ngapain, sih, kalian selalu ikut campur dengan urusan kami?” ujar Bagas yang ikut-ikutan membela pacarnya itu.

“Aku cuma enggak suka Nanda diperlakukan seperti itu. Kamu juga, Ichsan! Masa Kamu nembak Nanda di depan orang banyak kayak gini? Enggak romantis banget, sih,” jawab Cahaya dengan sabar. Cahaya tidak bersikap seperti Bagas dan Tiwi yang sering menyalahi seseorang secara sepihak.

Tiba-tiba saja Bagas memberikan isyarat mata kepada Ichsan dan juga anak-anak bayarannya. Cahaya yakin ini pertanda buruk bagi Andi dan Ian. Bagas, Ichsan, dan juga anak-anak bayaran Bagas langsung berlari ke arah Andi dan Ian. Mereka ingin mengeroyoki Andi dan Ian. Cahaya yang awalnya ingin mencegah, tidak bisa berbuat apa-apa begitu Tiwi dan Nanda memegang tangannya begitu kuat. Nanda sebetulnya tidak ingin menyakiti Cahaya, tapi atas paksaan dan ancaman Tiwi, Nanda pun melakukan hal itu dengan berat hati.

Bagas, Ichsan, dan beberapa orang bayaran Bagas beberapa kali melayangkan pukulan kepada Andi dan Ian. Cahaya terus berteriak-teriak begitu melihat Ian yang dipukul tanpa ampun oleh Ichsan dan 3 anak bayaran Bagas. Cahaya terus meronta-ronta agar ia terlepas dari cengkraman Nanda dan Tiwi. Namun, cengkraman mereka begitu kuat.

Nasib Andi lebih beruntung dibandingkan Ian. Andi sangat mahir dalam bela diri pencak silat. Tak ayal, jika Bagas yang hanya memegang sabuk kuning Taekwondo berhasil dikalahkannya. Akhirnya, setelah mereka kalah, mereka pun menyerah dan langsung lari ketakutan. Nanda dan Tiwi pun melepas cengkraman mereka kepada Cahaya dan ikut berlari bersama teman-temannya itu. Cahaya langsung berlari melihat keadaan Ian.  

“Ndi, kita harus cepat-cepat nganterin Ian ke rumahnya?” ujarku kepada Andi yang terlihat sangat lelah.

“Biar Aku aja yang anterin Ian naik motorku. Kamu enggak apa-apa kan jalan kaki sendirian?” tanya Andi padaku.

“Enggak apa-apa, kok. Ya sudah. Buruan, gih,” jawabku yang kemudian langsung membantu Ian naik ke atas motor Andi. Andi pun pergi mengantarkan Ian dengan sepeda motornya. Sementara itu, Cahaya pulang dengan perasaan yang masih cemas terhadap kondisi Ian.

“Assalammu’alaikum,” ujar Cahaya begitu ia tiba di rumah neneknya. Nenek pun datang dari arah dapur untuk menyambut cucunya yang baru pulang sekolah.

“Wa’alaikumsalam. Dari tadi nenek udah nungguin kamu pulang. Masuk, yuk! Ada kejutan spesial buat Kamu,” ujar nenek kepada Cahaya. Cahaya pun langsung duduk di kursi tamu dengan bingung. Jarang-jarang nenek memberikan kejutan kepada Cahaya.

“Assalammu’alaikum, anak Ibu yang paling cantik,” salam ibu Cici, ibunya Cahaya.

“Wa’alaikumsalam. Ibbbuuuu…,” Cahaya langsung berlari memeluk Ibu Cici dengan sangat erat. 

“Ibu kapan sampai di Indonesia? Kok, enggak ngasih tahu Cahaya dulu?” tanya Cahaya yang masih berada di pelukan ibunya.

“Iya. Biar jadi surrrrrrr…,”

Surprise, Bu,” Cahaya, Ibu Cici dan juga nenek pun langsung tertawa kecil. Setelah puas kangen-kangenan, Cahaya pun bergegas untuk mandi dan mengganti pakaian seragamnya. Hari ini ibu Cici berjanji akan mengajak Cahaya berkeliling desa bersamanya.
**
“Bu, Pak Jay nyuruh Cahaya buat ikut lomba Tari Daerah se-Jawa Tengah. Aya mau ikut, tapi Aya bingung dengan tariannya,” ujar Cahaya yang sedang berbaring di pangkuan ibunya. Ibu Cici sedang mengajak Cahaya bermain ke pinggir sungai di desa Kledung yang sangat jernih.

“Wah! Bagus itu. Kamu harus ikut, Ay. Ibu akan ngajarin Kamu sampai Kamu bisa. Ibu juga akan menjahit sendiri gaun meraknya untuk Kamu,” janji Ibu Cici yang sangat mendukung anak semata wayangnya itu. “Setelah lomba itu selesai, Kamu ikut Ibu balik ke Thailand ya? Kita bakal tinggal di sana selama-lamanya,” ajak Ibu Cici.

“Maaf, Bu. Aya enggak bisa. Aya masih mau tinggal di desa ini. Lagipula, Aya belum siap kalau harus berpindah kewarganegaraan. Ada sesuatu yang udah bikin Aya betah sama desa ini,” tolak Cahaya.

“Ada cinta Kamu yang tertinggal di sini?” goda Ibu Cici. Ibu Cici langsung tersenyum jahil kepada Cahaya.

“Iya, Bu. Cinta Aya terhadap desa dan negara ini. Dulu Aya memang enggak suka tinggal di desa ini. Tapi sekarang Aya sadar, kalau Ayalah yang harus melakukan perubahan buat desa dan negara ini. Aya ingin desa Kledung dikenal oleh seluruh alam semesta,” jawab Cahaya dengan mantap.

Ibu Cici bangga terhadap Cahaya yang sudah berani untuk mencintai tempat tinggalnya sendiri. Tak sia-sia perjuangannya selama ini untuk membuat Cahaya mencintai Indonesia. Mungkin memang sebaiknya Cahaya tetap tinggal di desa Kledung. Tak apa-apa mereka harus dipisahkan oleh jarak dan waktu nantinya, yang terpenting bagi Ibu Cici adalah kehidupan anaknya yang sudah aman di tanah airnya sendiri.

“Aku cinta desa Kledung dan negara Indonesia,” teriak Cahaya seraya membentangkan kedua tangannya.
**
“Assalammu’alaikum… Pak Kasan, pak Kasan!” ujar Cahaya memanggil Pak Kasan di depan rumahnya. Pak Kasan adalah ayah Andi.

“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Cahaya?” tanya pak Kasan yang baru saja keluar dari dalam rumahnya.

“Andi udah pulang, Pak?” tanya Cahaya dengan mata yang sibuk mencari-cari Andi.

“Belum. Memangnya ada apa?” jawab Pak Kasan. Belum sempat Cahaya pergi dari rumah pak Kasan dan mencari Andi, sosok Andi langsung muncul. Ia datang dengan membawa seekor burung Dara yang dari tadi terus dielus-elusnya.

“Cieee… ketahuan, nih, ada yang sering perhatiin Aku,” goda Andi.

“Ihhh… kegeeran banget sih, Kamu. Aku kan cuma takut Kamu mati dikeroyok sama gengnya si Bagas lagi. Oh, iya! Gimana keadaan Ian?” tanya Cahaya.

“Ohhh… Ian. Luka-lukanya sudah lumayan sembuh. Palingan, besok atau lusa dia sudah bisa sekolah,” jawab Andi yang tidak berhenti mengelus burung Dara putihnya itu. Setelah menjawab jawaban dari Andi, Cahaya pun langsung berpamitan pulang kepada Andi dan Pak Kasan. Siang ini, Cahaya harus latihan Tari Merak bersama ibunya.

Cahaya pun latihan menari Tarian Merak bersama ibunya. Ibu Cici mengajari Cahaya dengan sangat sabar. Cahaya memang sama sekali belum pernah menari Tarian Merak, namun Cahaya sudah pernah menari tarian Bondan sewaktu TK dulu. Gerakan tubuh Cahaya yang sudah cukup gemulai membuat Ibu Cici tidak terlalu susah payah untuk mengajarinya. Cahaya pasti akan cepat menguasai Tarian Merak dalam waktu beberapa hari saja.
**
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Matahari pagi sudah menyinari Cahaya dan ibu Cici yang sudah amat semangat untuk berangkat ke tempat perlombaan. Setelah menempuh perjalanan tiga jam dari Kledung menuju Semarang, akhirnya Cahaya dan ibu Cici pun tiba di Gedung Wanita Semarang tempat perlombaan menari itu diselenggarakan.

Setelah melakukan pendaftaran ulang, Cahaya dan ibu Cici duduk di bangku yang telah disediakan panitia. Cahaya mendapatkan nomor urut 10. Perlombaan sudah di mulai sejak tadi dan sekarang sudah masuk urutan ke-5. Tinggal beberapa nomor lagi. Cahaya pun menyiapkan penampilannya agar bagus di depan panggung. Ditemani ibunya, Cahaya bergegas mengganti pakaian di kamar mandi yang ada di dalam gedung itu. Gaun Merak yang sangat anggun menjadi kostum Cahaya untuk menarikan Tari Merak nanti. Gaun itu dijahit sendiri oleh ibunya.  


Ilustrasi: di sini

Setelah menunggu selama beberapa menit, akhirnya giliran Cahaya pun tiba. Cahaya berjalan pelan ke atas panggung karena Gaun Meraknya yang terlalu panjang menyulitkannya untuk berjalan. Cahaya langsung disambut sorak-sorai penonton yang memberikan tepuk tangan untuknya. Cahaya begitu senang karena mendapatkan sambutan positif dari para penonton. Ibu Cici pun langsung menyetel tape yang akan mengiringi Cahaya sepanjang dia menarikan Tari Merak.

Tarian Merak yang Cahaya bawakan terlihat sangat lincah. Setelah tarian selesai, penonton terdiam. Cahaya bingung dengan sikap penonton yang demikian. Ia berpikir bahwa penonton tidak menyukai tariannya. Namun, tiba-tiba saja sorak-sorai tepuk tangan penonton langsung memeriahkan Gedung Wanita Semarang. Juri yang berada di hadapan Cahaya pun langsung memberikan senyuman terbaik kepada Cahaya. Cahaya menjadi berbesar hati. Ternyata, semua orang yang ada di gedung itu menyukai penampilannya. Cahaya pun turun dari panggung dengan hati yang berbunga-bunga.

Pengumuman pemenang akan diumumkan hari ini juga. Cahaya dan ibu Cici pun menunggu pengumuman itu yang diperkirakan baru keluar menjelang matahari terbenam. Ibu Cici terus menenangkan hati Cahaya yang terus cemas menunggu pengumuman. Ibu Cici yakin, Cahaya akan mendapatkan hasil yang terbaik dari usahanya selama ini.
**
“Sebentar! Sebelum kalian kembali ke kelas kalian masing-masing, Bapak ingin mengumumkan sesuatu yang sangat penting,” ujar bapak Riozi, Kepala Sekolah SMPN 1 Kledung di depan podium upacara. Semua murid yang awalnya akan kembali ke kelasnya masing-masing pun langsung berbalik ke barisan mereka.

“Ada prestasi yang membanggakan dari salah satu siswi SMP kita. Dia telah meraih juara satu lomba Tari Daerah se-Jawa Tengah,” ujar bapak Riozi dengan senyum bahagia. Cahaya langsung tercekat kaget. “Dan… sambutlah…. Cahaya Putri Kacika, murid kelas 8A yang berhasil memenangkan lomba itu,”

Lapangan upacara langsung riuh dengan tepuk tangan dari semua murid SMPN 1 Kledung. Cahaya yang berjalan menuju podium upacara langsung disambut dengan suara teriakan teman-temannya yang dari tadi terus meneriakkan namanya. Tapi, di balik kegembiraan teman-teman sekelas Cahaya dan semua murid SMPN 1 Kledung, ada kebencian yang terlihat dari raut wajah Tiwi dan Bagas.

Cahaya pun tiba di atas podium upacara tepat di sebelah bapak Kepala Sekolah. Cahaya terkejut begitu melihat kedatangan ibunya dengan membawa piala kemenangannya. Ibu Cici langsung memberikan piala itu kepada bapak kepala sekolah yang selanjutnya akan diberikan kepada Cahaya. Pak Jay memfoto peristiwa itu dengan kamera sakunya.

Setelah selesai, Cahaya pun turun dari atas podium upacara dengan membawa piala yang tingginya kurang lebih setengah meter. Ia langsung meletakkan pialanya di tanah dan memeluk ibu Cici dengan sangat erat. Cahaya benar-benar tidak tahu dengan kejutan yang dibuat ibunya itu. Ia sangat bahagia.
**
“Ay, kamu enggak ikut pulang sama Ibu Kamu?” tanya Andi kepada Cahaya. Mereka berdua sedang berada di tepi sungai setelah mengantarkan Ibu Cahaya ke pintu masuk desa Kledung.

“Enggak, Ndi. Aku masih betah tinggal di negara ini. Aku belum bisa ninggalin desa dan negara yang kucintai ini,” jawab Cahaya seraya memainkan rumput-rumput hijau yang ada di hadapannya. Andi hanya mengangguk mengerti. Ia sangat kagum dengan kecintaan Cahaya terhadap negara Indonesia.

“Aku bingung sama Kamu. Kamu kan awalnya kayak enggak suka banget tinggal di desa ini. Kamu terlihat seperti anak kota yang sangat membenci pedesaan,” ujar Andi seraya menatap Cahaya. Cahaya langsung memicingkan matanya.

“Kamu tahu aja, ya. Haha… iya. Awalnya aku memang enggak suka tinggal di desa ini. Desa ini begitu terpencil sehingga sedikit sekali hiburan dan fasilitas yang bisa Aku nikmati. Tapi, sekarang Aku sadar. Desa ini memiliki keindahan panorama yang bisa menarik banyak wisatawan. Aku ingin sekali memajukan dan membangun desa ini agar kelak dunia bisa mengetahuinya,” jawabku seraya menatap aliran sungai yang sangat deras.

“Kalau Kamu bisa cinta sama desa dan negara ini, Kamu bisa mencintai Aku juga, enggak?” tiba-tiba pertanyaan itu terlempar dari mulut Andi. Cahaya kaget dengan pertanyaan Andi itu. Dia benar-benar bingung dengan jawaban yang harus ia berikan kepada Andi. Cahaya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Andi menyukai dirinya.

Keadaan begitu hening. Tak terdengar suara dari mereka berdua. Hanya gemericik air sungai yang bisa terdengar sampai akhirnya Cahaya berani membuka mulut.

“Emmm… Andi, kita ini masih terlalu kecil untuk menjalin hubungan yang istimewa. Aku tahu rasa cinta itu enggak bisa dipendam lama-lama. Tapi, lebih baik kita tetap bersahabat. Persahabatan itu lebih indah dari sekedar hubungan pacaran. Persahabatan tidak akan pernah putus, Ndi,” jawab Cahaya seraya menatap Andi.

Andi mengerti dengan jawaban Cahaya. Cahaya memang benar. Sebaiknya mereka berdua tetap menjadi sahabat. Persahabatan itu lebih indah dari semuanya. Jika mereka memang jodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan mereka suatu hari nanti. Ya. Suatu hari nanti…
***


Salsadzwana

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

1 komentar: